Selasa, 02 Desember 2008

cinta bukan karena simpati

Saat merasakan tubuh yang terbaring tak berdaya, sungguh menyakitkan sekali bagi orang yang menganggap dirinya sangatlah berharga. Drina, cewek yang aktif dalam tim cheerleader sekolah, sekarang terbaring lemas tak berdaya akibat kecelakan yang menimpanya, saat sepulang sekolah hendak ke halte yang ada diseberang jalan. Tiba-tiba saja mobil itu menghantam tubuh Drina sampai terpental ke trotoar. Bunyi hantaman yang sangat kuat itu sangatlah jelas, tapi keadaan saat itu sangat sepi. Tidak ada satupun orang yang melihat kejadian itu, teman-teman Drina latihan cheerleader pulang lebih awal, dan sekolah saat itu sudah menunjukan pukul 06.00 sore. Tak kuasa rasanya melihat darah yang mengalir dari tubuh Drina yang terpental lumayan jauh dari mobil yang menabraknya. Terlihat dari mobil itu keluar seorang cowok tampan, langsung membawa Drina kearah mobilnya dalam keadaan pingsan. Cowok tampan itu bergegas dan terlihat terburu-buru membawa Drina ke Rumah Sakit. Sesampai di Rumah Sakit, dia mencoba mencari dan menghubungi keluarga Drina. Cowok tampan itu juga sempat mengenalkan dirinya disaat belum sadar.
“Maafin gue ya! Kenalin nama gue Moca. Walaupun sampai sekarang lo belum sadar, tapi gue yakin klo lo bakal sembuh.”
Lima menit kemudian,
“Eh, kalian pada dimana? Gue dapat masalah nie! Lo ke Rumah Sakit Cantika sekarang ya. Cepetan, nggak pakai acara lama dan mandi segala.”
“Emang ada apaan sich? Kok kliatanya serius banget.”
“Gue habis nabrak cewek dan sekarang belum sadar-sadar juga. Please ya, kalian ke sini sekarang soalnya gue binggung nie, sampai sekarang keluarganya belum juga datang.”
“Iya-iya kita ke sana sekarang nggak pakai mandi segala. Pokoknya cepet deh. Tapi ntar ceweknya buat gue ya?”
Sesampai disana, salah satu teman Moca yang bernama Teja terkejut melihat cewek yang ditabrak oleh Moca adalah adek temannya. Teja mengenal betul siapa cewek itu dan tahu betul dimana dia tinggal. Teja serasa nggak percaya bahwa dia Drina cewek yang selama ini ia sayangi sebagai adek sendiri lemas tak berdaya di Rumah Sakit.
“Ca, cewek yang lo maksud ini?”
“Iya! Kenapa? Lo kenal sama dia?”
“Terang aja gue kenal, nie cewek adeknya teman gue. Lo kok bisa-bisanya sich nabrak dia? gimana ceritanya.”
“Sekarang yang penting menghubungi keluarganya. Please ya, Tej tolongin gue.”
“Iya. Lo nyantai aja. Habis ini gue datang kerumahnya, sampaiin berita. Klo masalah lo dengan kakaknya gue nggak bisa ikut campur, Ca. Soalnya gue tau banget sifat Audrei anaknya emosian. Tapi sebisa mungkin gue bakal bantu lo kok.”
Saat itu juga Moca jadi bingung apa yang harus dia lakukan. Tapi dengan semangat dari teman-temanya, Moca sedikit bisa tersenyum. Teja langsung memberitahu orang tua drina, mereka pun terkujut karena sampai jam segini belum pulang juga ternyata mengalami kecelakan. Mama dan Papa Drina langsung bergegas pergi ke Rumah Sakit. Mama Drina terus menangis, memikirkan bagaimana keadaan putrinya. Saat masuk kamar Drina dirawat, mata Mama dan Papa Drina tertuju pada satu pandangan pada cowok tampan yang duduk disamping Drina, tak lain adalah Moca.
“Selamat malam Om, tante. Perkenalkan nama saya Moca. Saya yang tidak sengaja menabrak Drina yang hendak meyebrang di depan sekolah tadi sore. Maafkan saya Om, saya benar-benar tidak sengaja. Benar!, sumpah!, Om dan tante.”
“Jadi kamu yang nabrak anak saya? Siapa yang membawanya ke sini?” dengan wajah marah dan emosi.
“Papa….” Suara Mama Drina yang tidak tega melihat cowok tampan itu dimarahi oleh suaminya.
“Saya, Om.”
Ternyata, Papa Drina tidak ada maksud untuk marah dan melaporkan Moca ke kantor polisi. Papa Drina bangga dengan Moca yang berani bertanggung jawab atas kejadian ini. Dalam batin Papanya tidak seperti tabrak lari yang dilihat ditelevisi-televisi. Perasaan Teja dan yang lain juga sempat was-was saat moca kelihatan dimarahi oleh Papa Drina.
“Sayang ini Mama. Bangun sayang! Liat Papa kamu juga datang. Bentar lagi abang kamu juga bakal datang. Mama udah siapin makanan kesukaan kamu di rumah. Ada opor ayam dan sate ayam.”
“Teja, mana adek gue?” teriak Audrei dari lorong.
“Ada didalam ama Bokap Nyokap lo. Dan didalam juga ada……..” belum sempat menyebut nama Moca yang nabrak Drina, Drei sudah masuk duluan.
“Drina! Ma, Pa. gimana keadaan dia? gimana ceritanya sich. Yang nabrak kemana tau khan, Pa. loe khan!” Pandangan Audrei tertuju pada Moca yang duduk di kursi.
Wajah Moca sudah ketakutan. Papa Audrei sudah mau menghalang-halangi Audrei untuk menghajar Moca. Ternyata dugaan mereka salah semua.
“Loe khan pemain basket dari Jakarta Itu khan. Gue suka banget sama gaya lo. Lo temen dekat adek gue. Kenalin nama gue Audrei, biasa dipanggil Rei. Sejak kapan adek gue punya temen sekeren lo main basket nggak dikenalin sama gue. Tapi jarang-jarang lo adek gue punya teman dekat cowok. Dia benci banget sama yang namanya cinta dan mencinta. Drina….Drina… ! lo yang bawa adek gue kesini? Thanks ya. Kapan-kapan boleh dong kita duel.”
Dari kejauhan Papa Drina memberikan syarat menganggukkan kepala. Dengan maksud agar Moca mengiyakan apa yang dikatakan saja. Kalau tidak, tambah bikin masalah. Moca akhirnya menuruti yang dikatakan Papa Drina. Selama dua minggu dirawat di Rumah Sakit, Drina baru boleh dibawa pulang. Setelah kejadian itu, Drina tidak lagi bisa bermain cheerleader bersama timnya karena kaki Drina tidak boleh terlalu lelah. Drina pun benci dengan keadan tersebut. Dengan dukungan dan support dari teman-temanya Drina sudah mulai tersenyum. Setelah kejadian itu, hingga Drina dibawa pulang ke rumah, Moca tidak pernah absent datang ke rumah Drina Untuk sekedar main dan menghibur Drina. Karena sifat Drina yang sulit ditaklukan, Moca sedikit kesulitan mengajak berteman. Moca ingin sekali membantu Drina yang saat ini masih belum bisa berjalan dengan normal. Drina keseharianya hanya terdiam duduk di atas kursi bisu yang setia mengantarkan Drina kemana-mana. Seandainya saja kursi itu adalah manusia, mungkin akan menangis mendengar perkataan Drina di saat Drina merasa kesepian.
“Kenapa gue harus seperti ini. Kenapa gue yang jadi korban. Kenapa gue yang menjadi mascot tim, jadi seperti ini. Kenapa bukan orang lain? Kenapa? Gue nggak tau sampai kapan gue bakal seperti ini. Gue juga nggak tau apa yang gue lakukan dengan sikap aneh cowok yang setiap hari datang hanya mengajak jalan-jalan yang memuakan dan membosankan. Gue benci semua ini. Kenapa harus dia yang nolong gue? Tidak………”
“Pagi Drina….!”
“Lo bukanya kuliah, kok lo kesini. Mau cari kakak gue, tuch ada di atas. Please, gue lagi pengen sendiri, so gue minta lo jauh-jauh dari muka gue sekarang. Gue lagi nggak pengen di ganggu. Dengar khan?”
“Drina, lo kenapa sich! Gue nggak ada maksud lain untuk semua ini. Gue sayang sama lo, seperti kakak lo sayang sama lo.”
“Tapi gue nggak butuh sayang dari lo. Gue tau lo setiap hari datang ke sini karena kasihan khan. Ingat! Gue bukan cewek yang pantas lo kasihani, ngerti. Buruan sana pergi.”
Drina sama sekali nggak tau siapa Moca sebenarnya. Semua ini ide dari orang tua Drina untuk tidak memberitahu Drina dan Audrei. Keadaan semakin dipersulit dengan kemauan Drina yang ingin kembali dalam tim cheerleader. Kemauan Drina ditentang abis-abisan oleh Papa dan Mamanya. Saat merasa jengkel, Drina terkejut mendengar bentakan dari Papanya untuk tidak lagi memikirkan chearleader, isakan tangis kecilpun terdengar samar-samar oleh Moca. Karena Moca tidak tahan melihat orang yang disayangi menangis, Moca langsung memeluknya. Sungguh meraka sangat serasi, Drina serasa nyaman dan rileks saat Moca memeluknya erat.
Suatu hari, mereka berdua lebih terlihat akrab dan Drina mau ngobrol dengan Moca. Saat ingin menangis, Drina minta punggung Moca untuk dipinjamkan. Moca cowok yang romantis dan perhatian. Bentuk tubuhnya yang simetris membuat Drina betah untuk bersandar di punggungnya. Moca berharap, nantinya Drina bisa menangis dipelukannya. Sesekali, Moca mengajak Drina untuk melihat latihan basked dimana dia dan kakaknya biasa latihan.
“Gue pengen liat lo main.” Kata itu terdengar jelas keluar dari mulut Drina.
“Tapi, ntar lo sendirian di sini. Kapan-kapan aja ya. Coba lo liat kakak lo main basket itu, keren khan.”
“Mana bisa gue bilang keren, klo gue blom liat lo main. Kata kakak, main lo bagus. Nah sekarang gue pengen liat sehebat apa kakak gue dibanding ama lo.”
Moca memenuhi permintaan Drina untuk main basket. Pandangan Drina hanya terngah-ngah melihat Moca lebih hebat dari kakaknya. Cara mainnya seperti pemain kelas internasional. Drina bersorak riang “Semangat!......Semangat………!” Moca pun berhenti sejenak melihat ke arah Drina. Audrei juga sempat mengarahkan pandangan ke arah Drina, adeknya.
“Drina. Akhirnya lo bisa ketawa. Selama ini gue mengira tidak akan seperti ini, ternyata tidak. Lo lebih cantik klo dandan, biar Moca naksir ama lo. He…he...he.”
“Kakak apa-apaan sich?”
“Nggak kok Rei. Drina polosan aja udah cakep. Nggak perlu polesan, ya nggak Drin?”
“Iya.” Jawab Drina malu-malu.
“Jangan-jangan kalian sudah pacaran.”
“Emang kenapa klo kita pacaran, pengen? Kita khan jadian udah lama, lagian kita udah dua bulan kenalan.”
“Hah…kenapa nggak kasih tau! Tau gitu khan ada acara makan-makan. Tapi ini benar nggak? Jangan-jangan kalian boong.”
“Benar kok, Rei yang dibilang Drina. Kita emang udah jadian. Emang lo aja yang nggak pernah ingin tau tentang kita.”
“Nyolot lo ya. Tapi jaga adek gue baik-baik. Jangan sampai dia terluka yang kedua kalinya.”
Maksud kebohongan itu akhirnya menjadi kenyataan setelah seminggu saling mengerti dan memahami. Moca dan Drina akhirnya pacaran beneran. Teja, cowok yang selama ini menjadi sahabat Moca berubah menjadi rubah. Teja menceritakan keadaan sebenarnya kepada Audrei tentang kecelakaan adeknya. Audrei menjadi emosi dan langsung pergi mencari Moca. Mereka bertemu dilapangan basket, dan kebetulan di situ ada Drina yang sedang melihat Moca latihan. Dengan rasa emosi yang tinggi, Rei langsung memukul Moca. Moca tidak sedikitpun membalas pukulan Rei. Drina yang baru seminggu lepas dari kursi bisunya berlari dan ternyata terjatuh. Moca langsung berlari kearah Drina untuk menolong.
“Jangan pernah lagi lo deketin adek gue. Dan masalah gue belum selesai. Ingat! Gue bakal bikin perhitungan ama lo. Dasar kampungan.”
“Kakak, ada apa ini! Apa yang kakak lakukan ama Moca sampai berdarah seperti itu. Apa salah dia, kak?”
“Drin. Ingat dan pandangi wajah dia yang terakhir kali. Dia yang nabrak lo, dan bikin lo sampai kaya gini. Paham.”
“Apa! kenapa lo tega…..tidak………….”
Drina benar-benar marah dengan apa yang dilakukan oleh Moca. Drina tidak mau lagi berbicara dengan Moca. Drina sedih dan kecewa dengan Moca. Papa Drina mencoba menjelaskan tentang semua ini atas kemauanya. Karena Papa Drina tau klo moca adalah cowok yang baik. Tapi tidak semudah itu, Drina memaafkan Moca. Drina sedih atas kejadian ini. Kenapa orang yang dicintai dan disayangi saat ini adalah orang yang patut dibencinya. Drina sulit melupakan Moca. Makan, minum sampai apapun yang dilakukan Drina teringat Moca. Drina tidak mau hal ini menghantui selamanya. Drina pun menuruti apa yang dikatakan oleh Papa untuk kembali kepada Moca, karena kecelakan ini bukan sepenuhnya salah Moca. Drina tidak ingin membohongi isi hatinya.
Drina dan Moca akhirnya bertemu. Mereka saling memeluk erat. Drina ingin sekali mendengarkan penjelasan dari mulut Moca tentang masalah ini.
“Selama ini gue hanya diam, karena gue tau dari Papa lo, klo sifat lo dan kakak lo keras. Gue sayang dan cinta lo bukan karena kasihan. Tapi gue dari hati yang paling dalam mencintai lo, Drin. Yang jadi masalah sekarang, kakak lo nggak bakal nerima gue.”
“Siapa bilang gue jadi masalah. Gue seneng kok kalian balikan lagi. Apa sich yang nggak buat kalian. Ini demi Drina juga. Gue nggak ada lagi ada dendam ama lo. Jadi sekarang kalian bahagialah. Dan ingat jangan sakiti adek gue yang kedua kalinya.”
Moca dan Drina nyambung dan pacaran lagi. Mereka merayakan hari kebahagian itu dengan makan malam di rumah, bersama Orang tua dan kakaknya. **END

Tidak ada komentar: