Selasa, 02 Desember 2008

ku mohon chisel

“Minggir! Lo nggak liat, gue mau lewat.” Teriak Chisel.
“Iya-iya kita minggir.”
Dalam hati, “Nie cewek galak amat, kelas berapa sich!” tanya salah satu siswa yang kebetulan melihat sikap Chisel.
Chisel, cewek brandal dan terkenal bengal di sekolah. Kerjaannya hanya nongkrong di kantin dan males ngerjain PR. Chisel yang sekarang duduk di bangku kelas 2, lumayan banyak anak kelas 3 yang mengenalnya. Cewek yang satu ini juga aktif main skateboard. Yang bikin kesel, Chisel sering main skateboard di lorong sekolah, sampai teman-temannya yang lagi asyik nongkrong di lorong pada keganggu.
“Chi, lo gila ya! nie bukan jalan buat lo main skateboard. Ngganggu, tau! Nggak di kantin, nggak di lorong, tingkah kaya gitu dipelihara. Ini sekolah, Chi.” Teriak Iqbal, teman sekelas Chisel.
“Siapa yang barusan teriak? Telinga gue gatal dengar ucapan barusan. Pasti, lo! kenapa? Lo ngerasa keganggu? Apa lo pengen dan iri aja pengen main skateboard gue. Gampang kok! lo ngomong aja ama gue, bakal gue pinjemin. Nggak usah pakai teriak, gue juga dengar. Nggak tuli!”
“Chi, gue cuma ingetin lo aja. Lagian, ini khan buat kebaikan lo juga. Lo tau, ada guru PKL yang ..….”
“Urusan ama gue apa? nggak penting juga, kali. Iqbal, gue kasih tau lo, ya. Nggak ada satupun orang yang bisa ngelarang gue. Paham! Apalagi lo, sering banget kasih gue ceramah, nggak capek tuch mulut. Gue mau masuk kelas, BT.” Potong Chisel, sebelum Iqbal selesai bicara.
Iqbal ternyata kakak sepupu Chisel. Selama ini mereka tinggal dalam satu rumah dan ditemani oleh seorang pembantu dan tukang kebun. Chisel menganggap, Iqbal bukan siapa-siapa dan tidak mau urusan dan tingkah laku dikendalikan olehnya. Sejak kecil, Chisel dibesarkan dan bermain dalam rumah yang besar dan kelihatan mewah itu.
Masuk SMU, orang tua Iqbal pindah ke Jakarta. Sejak itu, sikap Chisel berubah total. Dari yang awalnya pendiam dan pemalu, sekarang bener-bener berubah total. Semuanya hanya Iqbal yang tahu. Waktu SMP, Chisel sempat dikucilkan oleh teman-temannya yang selelu mengata-ngatai klo dia itu anak cengeng, anak Tante, anak nggak gaul dan yang nggak enak didengar ditelinga semua dilemparkan ke Chisel. Iqbal sama sekali nggak berani membongkar semuanya, karena ini semua demi Chisel, adik sepupunya. Chisel melakukan ini, karena lelah dengan cemooh-cemooh yang masuk di telinganya.
Dengan lengan baju yang dilipat keatas, rok diatas lutut, sepatu cats yang setiap harinya selalu ganti dengan warna-warna nyolok plus kaos kaki yang sepadan dengan sepatu nggak pernah ketinggalan. Yang nggak kalah keren, topi warna hitam dan tas punggung tetep nempel di tubuhnya. Berjalan lagaknya mafia, ditakuti anak-anak kelas 1, dan pinter ngeles andalan Chisel. Sebenarnya, di hati Chisel banyak luka yang harus dia tahan. Orang tua yang nggak tau kemana, dan sama sekali nggak mau ngurus dia, membuat Chisel kecewa. Hari ini, Chisel sedikit mendung. Wajahnya tidak seperti biasanya.
“Chisel, balik!”
“Nggak bareng sama Den Iqbal, Neng?”
Chisel terdiam tak menjawab pertanyaan pembantunya yang saat itu membawakan air putih untuknya. Tujuan ke kamar adalah satu-satunya untuk melepaskan lelah dan menemui si Luki.
“Hai Luki, gue pulang. Capek!” merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, sebelum merebahkan ke tempat tidur, Chisel mencoba mengusap Luki yang asyik berenang di air.
Luki, adalah kura-kura yang sejak SMP dipeliharanya. Kura-kura ini pemberian kakak kelas yang sekarang melanjutkan kuliah di luar kota. Semua isi hati Chisel, hanya Luki yang tahu. Sedih, senang, BeTe, semuanya Luki tahu. Chisel bangga punya saudara Iqbal yang selama ini mau tahu tentangnya dan ngerti keadaanya klo di rumah. Tapi anehnya, kenapa klo di sekolah dia selalu mojokin dan mencoba bikin malu. Ini yang selama ini jadi pertanyaan buat Chisel dan Luki.
“Chisel, buka pintunya!” dengan kencang Iqbal menggedor pintu kamar Chisel.
“Kenapa?” tanya Chisel kebingungan melihat wajah Iqbal yang merah padam.
“Lo, udah berapa kali gue kasih tau, klo di sekolah jangan macam-macam. Semua guru tahu, Chi. Sikap lo yang kasar dan brutal kaya gitu bisa aja lo dikeluarin dari sekolah. Gue nggak mau itu terjadi ama lo. Mama wanti-wanti sama gue, klo ada apa-apa dengan lo, itu tangung jawab gue. klo selama ini gue cerewet, emang ini semua buat lo. Please, Chi. Jangan bikin Mama gue kecewa ama lo.”
“O………., jadi tante suruh lo ngurusin semua tentang gue. Bukan berarti lo bisa bikin malu gue di depan anak-anak klo di sekolah. Tapi, thanks deh! Mama lo udah terlalu baik ama gue. Selama ini udah besarin gue, sekolahin gue dan sampai sekarang gue juga masih nebeng di rumah lo. Besok gue bakal pulang ke tempat nenek dan lo nggak perlu lagi ngurusin gue.”
“Chi! Gue gini karena sayang ama lo. Nggak ada niat dari gue buat nyakitin perasaan lo. Biaya buat pergi ke tempat nenek juga nggak murah, Chi. Tabungan lo dan gue aja klo digabung nggak bakal cukup. Mereka malah akan marah sama gue, lo mau gue kena semprot lagi dari Nenek sama Mama, seperti seminggu yang lalu kita dapat telepon. Itu baru gue nggak bisa jagain lo, yang jatuh sakit gara-gara kecelakan main skateboard. Apalagi ini, lo marahan sama gue.”
“Ok! Sekarang gue ngerti! Intinya lo ngancam gue khan? gue harus nurut sama lo gitu?”
“Nggak gitu Chi! Tapi sedikitnya lo harus merubah sikap di sekolah. Lo lebih kliatan baik kaya SMP dulu, deh. Tentang guru PKL, salah satu diantara mereka ada Kak Indra. Lo tau khan, adeknya Papa.”
“Urusan ama gue apa? lo nggak denger pertanyaan itu keluar dari mulut gue dari di sekolah tadi? Gue harap, lo juga nggak usah ikut campur dengan masa lalu gue. Jangan-jangan lo seneng gue dicemooh ama anak-anak. Lo emang kadang tuch nyebelin banget, ya. Hanya sedikit kebaikan lo yang gue lihat. Udah deh, nggak usah ngurusin yang namanya saudara atau apalah.”
“Sedikitnya jaga sikap lah. Ini juga buat Kak Indra khan. Kak Indra bangga punya keponakan kita, begitu juga kita bangga punya kakak yang PKL di sekolah kita. Ya, nggak?”
“Apa yang barusan lo bilang, sikap! Nggak salah? Semua keluarga yang gue kenal selalu ngomongin sikap, nggak dari keluarga Mama dan Papa. Tapi kenapa mereka tidak mengerti dengan sikap? Anak semata wayangnya dibiarkan kedinginan menangis meronta-ronta memanggilnya untuk jangan pergi, tapi kenyataanya mereka pergi sampai sekarang tidak melihat apakah anaknya ini masih hidup apa tidak.”
“Bukan maksud gue Chi untuk ngingat masa lalu lo. Tapi lo masih punya keluarga gue. Tante dan Om selalu jagain lo lebih dari dia jagain gue. Selama ini gue juga nggak ngiri, karena gue bisa bahagia klo ngelihat lo waktu kecil ketawa didekapan Mama gue.”
Chisel merasa Iqbal hanya mementingkan keluarganya. Chisel langsung berpikir cepat untuk meninggalkan rumah dimana dia dibesarkan oleh Mamanya Iqbal. Chisel masukan bajunya secara paksa ke dalam tas ransel. Tak lupa, Chisel membawa foto kedua orang tuanya. Walau orang tuanya sama sekali tidak memperdulikannya, Chisel tetap selalu menghormati foto kedua orang tuanya. Hanya foto yang dapat mengenang orang tuanya.
“Lo mau kemana?” tanya Iqbal.
Tidak sepatah katapun keluar dari mulut Chisel untuk menjawab pertanyaan dari Iqbal.
“Chi! Gimana dengan gue, klo lo pergi? Mama dan nenek akan marah besar klo tiba-tiba lo pergi nggak tau kemana. Yakin lo bakal pergi ninggalin rumah ini? lo bakal tinggal dimana Chi? Sama sekali nggak ada soudara. Lagian ini udah malam, Chi. Dengerin gue dulu!” menarik tangan Chisel.
“Gue masih punya Luki, gue masih punya temen-temen gue disekolah, dan lo ingat ya! tanpa lo pun gue bisa hidup.” Chisel beranjak dari kamar dan menuju ke luar rumah untuk mencari taxi. Selagi Chisel menunggu taxi, tiba-tiba Iqbal.
“Tapi, Chi. Sebaliknya, gue nggak bisa hidup tanpa lo.” kata-kata itu begitu mudahnya keluar dari mulut Iqbal.
“Apa lo bilang barusan? Nggak salah denger! Udah lah! Lo sujud-sujud gue nggak bakal balik lagi ke rumah ini, klo sikap lo masih sama.”
“Chi, gue mohon jangan pergi.” Menarik tangan Chisel semakin erat.
“Lepasin. Gue bilang nggak ya nggak! Lepasin!”
Chisel memaksa Iqbal untuk melepaskan menarik tangannya. Dengan paksa akhirnya Chisel berhasil menarik tanganya dari tangan Iqbal, sampai-sampai dia terjatuh dipinggir jalan. Memang nasib Chisel yang sangat amat kurang beruntung, sepeda motor melaju kencang menabrak tubuh Chisel. Chiselpun pingsan tak sadarkan diri, darah yang keluar dari kepalanya juga lumayan deras. Kebinggunganpun melanda perasaan Iqbal.
“Gue mohon, Chi. Lo harus sembuh. Maafin gue Chi.” Iqbal membawanya ke rumah sakit dengan mobil.
Sesampai rumah sakit nyawa Chisel tidak dapat di tolong, karena darah yang keluar dari kepala cukup banyak.
“Chi, gue mohon jangan tinggalin gue. Gue suka ama lo, Chi. Gue sayang ama lo, Chi. Chisel……………….” Teriak Iqbal merasa bersalah.

Tidak ada komentar: